Generasi Copy Paste
Oleh: Ust. Dian Oka Putra
(Mahasiswa Doktoral UIKA-Bogor/Peserta PKU Dewan Da’wah)
IMMPOS. Com - Di antara
keberkahan ilmu ialah menisbatkan setiap perkataan kepada orang yang
mengatakannya,karena yang demikian itu lebih selemat dari pemalsuan sebagaimana
yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sabdanya "Orang yang mengada-ada dengan sesuatu yang belum pernah
diberikan kepadanya, seperti orang yang mengenakan dua pakaian palsu.(HR.Abu
Daud No.4345)
Hadits diatas merupakan peringatan keras dari perbuatan mengambil
perkataan seseorang tanpa menisbatkannya kepada mereka dan ini dalam Islam
termasuk kedalam sariqoh (pencurian), dan hukumnya dilarang menurut syariat,
karena ia telah berpura-pura menampakkan sesuatu yang tidak ia punyai. Demikian
juga, karena di dalamnya terkandung penipuan dan pembentukan kesan bahwa
perkataan tersebut dari jerih payah dan ilmunya.
Dalam surah Annisa’ Allah ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha
Penyayang kepadamu”.
Ayat diatas dapat dipahami bahwa mengambil hak kepemilikan orang
lain dengan cara yang batil baik berupa pencurian atau perampasan maka
diharamkan oleh Allah ta’ala, bahkan seorang pencuri (mengambil hak orang lain
tanpa keridhaan pemiliknya) diancam neraka oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam di dalam haditsnya: “Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya
dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk
surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya
sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu
untuk siwak).“[HR. Muslim].
Dari dua dalil di atas dapat kita pahami bahwa mengambil sebuah
karya orang lain adalah diharamkan oleh syariat Islam sehingga termasuk di
dalamnya adalah mengambil sebuah artikel
ilmiah, unduh aplikasi,dan lain sebagainya yang bukan milik kita adalah
diharamkan dalam Islam karena itu termasuk dalam pencurian.
Kasus ini kita kaitkan dengan sebuah tindakan yang terjadi
dikalangan pelajar dan mahasiswa kita, bahkan para akademisi senior juga sering
terjebak dengan tindakan yang diesebut plagiarism atau untuk kasus
umumnya mengambil sebuah karya seseorang tanpa menyebutkan sumbernya. Kelihatannya
sepele namun dampaknya tidak segampang yang dikira, sebab dalam hidup di dunia
ini ada aturan Rabb (tuhan) yang diberlakukan atas para hamba-Nya, namun
seringkali para hamba-Nya itu tidak mengetahui aturan Rabb-nya dikarenakan
mereka sibuk dengan urusan duniawi belaka. wali’yaudzubillaah. Terkadang kita
memiliki sebuah wacana ilmiah, historis ataupun jenaka dan tentunya wacana kita
itu terdapat kemungkinan akan dicopas oleh para copaser (istilah: tukang
copy-paste)
1.
Etika yang terbaik adalah meminta
izin si pemilik wacana dan mendapatkan keridhaannya untuk dicopas, baik melalui
buku tamu, atau komentar di wacana tersebut.
2.
Mencantumkan source (sumber) berupa
link.
Orang yang menisbatkan hasil karya orang lain pada dirinya tanpa
menyebutkan sumber adalah orang yang terjerumus dalam banyak bahaya. Hendaknya
dia menyadari hal ini dan tidak terus menerus melakukan hal tersebut yang
menyebabkan dia tidak mendapatkan pahala karenanya. Di antara sisi buruk yang
terjadi karena perbuatan ini adalah:
1.
Tidak Ikhlas
Dalam Beramal
Seorang muslim diperintahkan untuk ikhlas dalam semua amal ketaatan
dan amal ibadah yang dia lakukan. Dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman “Tidaklah
mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dalam kondisi
memurnikan ibadahnya hanya untuk-Nya dan menjadi orang yang cenderung kepada
tauhid” (QS. Al-Bayinah: 5).
Perbuatan mengambil hasil jerih payah orang lain untuk
disebarluaskan atas nama dirinya adalah tindakan yang bertolak belakang dengan
ikhlas. Karena dengan tindakannya itu berarti dia adalah orang yang
menginginkan popularitas dan namanya disebut-sebut oleh banyak orang serta
ingin berbangga-bangga dengan sesuatu yang bukan jerih payahnya. Andai dia
adalah seorang yang menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala
akhirat, niscaya dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak
menerima amal yang diklaim sebagai jerih payah sendiri padahal sebenarnya
bukan.
Jika dia menyadari hal ini, tentu saja dia akan segera menghentikan
perbuatannya dan menisbatkan hasil jerih payah seseorang kepada pemiliknya.
Jika dia mau melakukan hal ini maka dia akan mendapatkan pahala mengajarkan dan
menunjukkan kebaikan kepada orang lain secara utuh tanpa dikurangi sedikitpun.
Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali
yang baik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai manusia sesungguhnya Allah itu maha baik dan Dia tidaklah menerima
kecuali yang baik.” (HR. Muslim no.1015).
2.
Dusta dan
membangga-banggakan diri dengan suatu hal yang tidak benar.
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Asma binti
abu bakar Rha bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda, “Orang yang membangga-banggakan diri dengan sesuatu yang tidak ada
pada dirinya itu bagaikan seorang yang menutupi seluruh badannya dengan dua
kain kepalsuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa
sallam menggunakan ungkapan ‘dua kain’ sebagai isyarat bahwa orang tersebut
melakukan dua kebohongan, membohongi diri sendiri dan membohongi orang lain.
Demikian pula saksi palsu. Dia melakukan dua kezaliman, zalim kepada diri
sendiri dan zalim kepada orang yang dirugikan gara-gara persaksian palsunya.”
(Fathul Bari, 9:318).
Syaikh Muhammad Jamaluddin al Qasimi mengatakan, “Di antara hal
yang sangat jelas bahwa termasuk hal penting dalam karya tulis adalah
menisbatkan penjelasan bermanfaat tentang suatu hal, suatu permasalahan, dan
keterangan menarik kepada orang yang mengatakannya agar kita termasuk melakukan
pemalsuan dan menjaga diri agar tidak tergolong orang yang memakai dua kain
kepalsuan. Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam kitab ini
disandarkan kepada orang yang mengucapkan tanpa mengadakan perubahan sama
sekali. Inilah prinsip kami dalam semua keterangan yang kami kumpulkan.”
(Qawaid at Tahdits min Funun Mushtholah Hadis, hal. 40).
3.
Tergolong
tindakan pencurian
Isham Al-Hadi mengatakan, “Tatkala banyak komentar tentang kelakuan
sebagian orang yang menukil suatu perkataan tanpa menyebutkan siapa yang
mengucapkannya, kutanyakan hal ini kepada guruku, Al-Albani, apakah tindakan
tersebut tergolong pencurian ataukah bukan?
Jawaban beliau, “Betul, itu tergolong pencurian dan tentu saja
tidak diperbolehkan oleh syariat karena itu termasuk berbangga dengan sesuatu
yang tidak dimiliki, tadlis alias manipulasi dan membuat sangkaan bahwa
perkataan tersebut atau simpulan pembahasan tersebut adalah buah karyanya.”
Lantas kukatakan, “Sebagian orang beralasan dengan perbuatan ulama
terdahulu yang menukil ucapan orang lain tanpa menyebutkan siapa yang
mengatakan.”
Jawaban Al-Albani, “Apakah ulama dahulu membanggakan diri dengan
kutipan tersebut? Tidak pantas bagi seorang penuntut ilmu untuk membanggakan
kutipan perkataan orang lain. Wahai ustadz, ketahuilah bahwa mengutip perkataan
orang lain itu ada dua macam.
Pertama, nukilan yang semua orang tahu
bahwa nukilan tersebut bukanlah ucapannya semisal ucapanku atau selain diriku,
“Fulan lemah atau tsiqah.” Semua orang yang membacanya tahu bahwa nukilan
tersebut bukanlah murni ucapanku. Hal semacam ini tidaklah mengapa kita
mengutipnya tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya.
Kedua, perkataan yang merupakan hasil
telaah dan kajian yang mendalam tidak boleh dikutip tanpa menyebutkan siapa
yang mengatakannya, siapa pun yang melakukannya (tidak boleh pen.).” (Al-Albani
Kama ‘Araftuhu, karya Isham Musa Hadi hal. 74-75).
4.
Dicabutnya
keberkahan ilmu dan tidak syukur atas nikmat ilmu
Ketika menjelaskan hadis ‘Agama itu nasihat (menghendaki kebaikan
untuk pihak lain), An-Nawawi mengatakan, “Di antara bentuk menghendaki kebaikan
untuk orang lain adalah menisbatkan keterangan yang menarik kepada yang mengatakannya.
Siapa saja yang melakukan hal itu maka ilmu dan keadaannya akan diberkahi.
Sedangkan orang yang membuat image bahwa ucapan orang lain yang dia
kutip seakan-akan adalah kata-katanya itu sangat layak ilmunya tidak bisa
diambil manfaatnya dan keadaannya tidak mendapatkan limpahan berkah. Adalah di
antara tradisi keilmuan para ulama adalah menisbatkan keterangan ilmiah yang
menarik kepada orang yang pertama kali mengucapkannya.” (Bustanul ‘Arifin, hal.
4, Syamilah).
Imam Suyuthi mengatakan, “Di antara tanda keberkahan ilmu dan wujud
syukur atas nikmat ilmu adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengucapkannya. Abu
Abdillah Ash-Shuri mengatakan, Abdul Ghani bin Said bercerita kepadaku, “Ketika
buku karyaku sampai ke tangan Abdullah Al-Hakim dia mengucapkan terima kasih
atas pemberian buku tersebut dan dia bercerita bahwa dia mendiktekan buku
tersebut kepada banyak orang. Di antara isi surat terima kasihnya kepadaku
adalah pengakuan bahwa dia mendapatkan banyak tambahan ilmu dengan sebab buku
tersebut dan setiap tambahan ilmu yang dia dapatkan dia selalu sampaikan bahwa
dia mendapatkannya dariku.”
Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri mengatakan bahwa beliau mendengar Abu
Ubaid mengatakan, “Di antara wujud syukur karena mendapatkan tambahan ilmu
adalah mengatakan dulu aku tidak mengetahui hal ini dan itu. Aku tidak punya
ilmu tentangnya sampai akhirnya fulan memberi penjelasan demikian dan demikian
kepadaku.” Inilah bentuk syukur atas nikmat ilmu. Kukatakan (yaitu Suyuthi)
‘Oleh karena itu, tidaklah aku mengutip ucapan orang dalam buku-buku karyaku
kecuali kesebutkan ulama yang pertama kali mengucapkannya plus buku yang
menyebutkannya.” (Al-Muzhir fi Ulum Al-Lughah, 2:273).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan adanya kejahatan dan dosa
yang banyak yang dilakukan oleh orang yang mencuri hasil jerih payah orang
lain, lalu diklaim sebagai jerih payahnya sendiri. Menurut beliau, tindakan ini
adalah pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta.
Beliau mengatakan, “Kami sudah berulang kali memberikan kritikan
kepada berbagai koran yang mengutip ucapan orang lain tanpa menisbatkannya
kepada yang mengucapkannya. Boleh jadi sebagian orang melakukan hal ini dengan
sengaja. Jika demikian, ini merupakan pencurian yang lebih jelek dari pada
pencurian harta. Mencuri harta berarti melakukan satu dosa. Sedangkan mencuri
ucapan seseorang itu memuat beberapa dosa:
1.
melanggar hak orang lain lalu
menisbatkan hak tersebut sebagai haknya. Inilah sebab mengapa perbuatan ini
disebut pencurian.
2.
khianat dalam dunia ilmu. Padahal
seorang itu tidak akan sukses dalam ilmu melainkan dengan amanah dan amanah
dalam hal ini adalah penisbatkan setiap ucapan dan pendapat kepada yang
mengatakannya.
3.
merupakan kedustaan dan ini adalah
suatu hal yang jelas.
4.
membanggakan diri dengan sesuatu
yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Dalam hadis yang sahih dikatakan bahwa
orang yang membanggakan diri dengan sesuatu yang tidak nyata itu bagaikan orang
yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.
5.
menipu. Sebagian orang jika
mengetahui bahwa perkataan ini adalah perkataan milik si A maka dia akan
menerima dan mengikutinya karena taklid itu dibangun di atas kepercayaan kepada
person tertentu. Ketika kata-kata tersebut tidak dinisbatkan kepada orang yang
benar, maka sebagian orang tidak mau menerimanya. Andai dia mengetahui orang
yang sebenarnya mengucapkannya maka dia akan menerimanya karena dia sangat
percaya dengan pengucap yang asli dan tidak percaya dengan pengucap yang palsu.
Orang yang percaya berat dengan pengucap yang palsu akan menerima kata-kata
tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah kata-katanya padahal sebenarnya
bukan.
6.
kejahatan terhadap sejarah.
Sejarahlah yang menjelaskan tingkatan dan kedudukan manusia dalam masalah ilmu.
Tidak diragukan, bahwa para pakar hadis menilai orang semacam ini sebagai
pemalsu dan pembuat kebohongan yang riwayatnya tidak diterima dan demikianlah
sikap yang seharusnya diberikan kepada mereka.” (Majalah Al-Manar, 3:569).
Setelah melihat betapa jahatnya dan berapa buruknya orang yang
mengaku-aku hasil jerih payah orang lain sebagai jerih payahnya sendiri, maka
hendaknya para penulis di dunia maya atau pun selainnya hendaknya
menghentikannya yang mempermainkan hasil jerih payah orang lain, jujur dalam
berkarya, dan berupaya untuk selalu amanah. Mudah-mudahan Allah akan berikan
kepada mereka pahala menebarkan kebaikan yang sempurna pada hari Kiamat nanti
jika mereka amanah dalam menulis. Allahu Musta’an
Posting Komentar untuk "Generasi Copy Paste"