Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Oligarki Bercengkram

Oligarki apa itu oligarki, kata tersebut tidak lagi asing untuk didengar. Kata tersebut sangatlah populer pada saat masa orde baru. Dimana pada saat masa orde baru merupakan puncak oligarki sangat dengan mudahnya menancapkan taringnya di ranah politik indonesia untuk kepentingan bisnis mereka. Namun, dengan berakhirnya masa orde baru pada tahun 1998, Indonesia ternyata belum terlepas dari jerat oligarki. Dilanjutkan pada masa reformasi merupakan masa dimana oligarki bertranformasi dengan gaya baru. Dengan dalih untuk kepentingan rakyat, dari rakyat untuk rakyat, pejabat yang merakyat membela rakyat. Kalimat-kalimat tersebut yang sering dilontarkan mereka. Oligarki kini semakin terlihat merajalela. Hal ini sangat menjadi terhambat dalam demokrasi kita yang suci, yang menjadikannya justru semakin melemah waktu ke waktu.

Oligarki dan demokrasi tentu merupakan dua hal yang saling bertentangan dalam makna. Tidak bisa menjadi satu tujuan yang suci. Namun saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Oligarki menurut gagasan dari filsuf plato teorinya menyebutkan bahwa oligarki merupakan bentuk pemerosotan dari pemerintah aristokrasi, pemerintah yang dipimpin cerdik pandai, menjadi dipimpin segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri. Sementara, filsuf polybios memandang, oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite untuk memperbaiki kondisi kesewenangan aristokrasi. di Indonesia sendiri menurut Titi Anggraini menilai, oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi tanah air, khususnya dalam gelaran pemilu dan pilkada. Hal tersebut menjadi oligarki bisa besar saat ini. Sementara demokrasi sendiri memiliki peran yang sangat penting untuk caranya bangsa ini menjadi makmur.

Potret Demokrasi
Demokrasi menurut salah satu ahli dari Joseph A. Schemer merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sementara menurut Abraham Lincoln merupakan suatu sistem pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di sini artinya rakyat memegang kekuasaan tertinggi dalam hal pembuatan keputusan yang berdampak pada kehidupan rakyat secara keseluruhan. Sistem dan hubungan tersebut merupakan kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas politik serta pertahanan kolektif atas kedua hal itu.

Sementara pada saat ini demokrasi jauh dari hakikat demokrasi sendiri. Tiga hal hakikat demokrasi. Pertama, Pemerintah dari rakyat dengan pemerintah yang sah dan diakui dimata rakyat. Sebaliknya ada pemerintah yang tidak sah dan tidak diakui. Kedua, Pemerintah oleh rakyat, menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas nama dorongan sendiri. pengawasan yang dilakukan oleh rakyat dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung. Ketiga, Pemerintah untuk rakyat, kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyak, bukan untuk diri sendiri apalagi golongannya sendiri. Demokrasi kita saat ini sangatlah jauh dari kata kuat dengan runtuhnya prinsip-prinsip pembangunan demokrasi.

Prinsip demokrasi kebebasan berpendapat dan berserikat seakan tidak lagi dihiraukan. Masyarakat dibungkam untuk dapat menyampaikan aspirasinya, baik yang disampaikan melalui media massa ataupun media sosial. Apalagi saat ini mengkritisi kekuasaan dianggap hinaan. Diampun jauh dari kata nyaman untuk masyarakat, Menyumbang pemikiran negara dianggap pro kekuasaan. Praktik pembungkaman ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pada masa orde lama dan orde baru, pembungkaman dilakukan dengan menutup atau mencabut izin penerbit media dan media cetak. Padahal media merupakan alat informasi yang sangat penting untuk bisa sanpai ke pembaca atau masyarakat. Pada saat reformasi sekarang ini, dimana teknologi sekarang ini telah berkembang secara pesat, tetapi tak jauh lagi dari perilaku upaya pembungkaman dilakukan dalam bentuk serangan digital. Yaitu dengan men-doxing atau mengintimidasi jurnalis dengan menyebarluaskan informasi atau data yang bersifat pribadi ke media sosial secara continue.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa prinsip demokrasi adanya untuk kebebasan pers nampaknya hanya menjdai slogan. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim, mengecam atas peretasan sejumlah media sosial miliknya. Ini merupkan nilai bentuk pembajakan media sosial dan teror terhadap aktivis, yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan demokrasi. Disampakain sekjen AJI Ika Ningtyas pada bulan februari 2022. Peretasan tersebut dengan tiga informasi yaitu, dukungan terhadap pembubaran FPI, Penangkapan Fatia dan Haris Azhar, serta pembangunan bendungan bener di desa wadas. Ini merupakan sebuah contoh untuk membenturkan dengan masyarakat apalagi saat ini warga wadas yang sedang berjuang menolak eksploitasi sumber daya alam di kampungnya. Jenis kekerasan yang terjadi bukan hanya dalam bentuk serangan digital. Melainkan juga intimidasi, kekerasan secara fisik, perusakan, perampasan alat, data hasil liputan dan bahkan juga dengan ancaman.

Direktur center for media and democracy lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial (LP3ES), Wijayanto, memandang, peningkatan kualitas demokrasi indonesia memang tidak serta-merta bisa dilihat secara kuantitatif. Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan LP3ES sepanjang 2021, demokrasi indonesia tak banyak berubah dibandingkan tahun sebelumnya. Perilaku penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap warga juga masih terjadi. Seperti kejadian penembakan gas airmata di stadion kanjuruhan malang mengakibatkan ratusan jiwa melayang padahal larangan tersebut sudah jelas dari FIFA. Pembatasan kebebasan untuk berekspresi masyarakat sipil juga banyak diatur dan diawasi, bahkan pelaporan aktivis oleh pejabat negara ke kepolisian masih dilakukan. Banyak kasus yang tidak cepat untuk dilakukan bahkan tenggelam oleh kasus yang baru. “Situasi obyektif demokrasi Indonesia masih di arah kemunduran dan putar balik ke arah otoritarianisme. Hak itu terjadi kerena konsolidasi oligarki yang makin cepat dan kuat,” kata wijayanto.

Bentuk Kristis Dominasi Kini
Melihat realitas masa kini, sudah gamblangkah dimata kita apa sebenarnya yang terjadi di bangsa ini. Masih ingatkan kalimat dari Antonio Gramsci bahwa krisis itu justru terjadi dari kenyataan bahwa yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat dilahirkan; dalam masa peralihan ini berbagai macam gejala penyakit muncul. Dari realita masa ini kita melihat bagaimana kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah terkesan pilih kasih dan bersifat sepihak. Dalam kalimat lain pemerintah sudah mendominasi dengan kekuasaanya atas segala bentuk hak dan kebebasan warga sipil. Cara tersebut sangatlah dapat melanggengkan segala kepentingan oknum para “pencuri” hak dan kebebasan warga sipil dalam menentukan nasib hidupnya dimasa yang akan datang. Terlebih lagi dengan dampak tersebut tidak bisa terbendung sampai waktu ini, oleh sebab itu, kita harus menyadari bahwasannya dominan pemerintah hari ini dan hegemoni yang dilanggengkan menjadi ancaman serius di dalam negara demokrasi. Hegemoni yang dijalankan secara represif dan persuasif memalui regulasi-regulasi secara tidak langsung menyusup kedalam culture masyarakat akan menggerus hak-hak untuk berdemokrasi masyarakat itu sendiri.

Kita harus cepat sadar dengan sifat kesadaran melakukan yang bersifat counter hegemony dalam upaya untuk mewujudkan negara yang demokratis dan menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat dan umat bangsa ini. Dengan kebijakan yang demokratis tadi, maka akan terwujud keselarasan antara pemerintah dan masyarakat yang harmonis dalam kehidupan saat ini.


Oleh : Zaini Fajar (Ketua Bidang HKP DPD IMM Jateng)
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Oligarki Bercengkram"