Esensi Ramadan dan Rasa Kemanusiaan
Esensi Ramadan adalah bentuk cinta dan kasih terhadap sesama. Secara terminologi, yaitu panas, menyengat, membakar. Arti dari Ramadan adalah menghanguskan amarah dan kebencian daripada nafsu, baik secara lahir maupun batin. Hal ini harus mampu dimaknai dengan sesama, bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang suci bulan kemanusiaan. Melihat gencarnya dehumanisasi akhir-akhir ini, maka bulan Ramadan ini sepatunya menjadi momentum refleksi atas kemanusiaan umat beragama. Khususnya di negeri kita saat ini, banyak sekali kasus-kasus yang di luar dugaan kita. Banyak sekali kejahatan, kekerasan, dan berbagai masalah lainnya yang kerap muncul di negeri tercinta ini.
Ada dua indikator dari dehumanisasi yang belakangan ini marak terjadi yakni ujaran kebencian (hate speech) dan aksi teror. Maraknya hal ini, mengakibatkan kondisi sosial dan politik negara pun ikut terganggu. Bagaimana tidak, sedangkan opini destruktif politik begitu liar berkembang yakni saling curiga, fitnah, adu domba dan lain sebagainya ikut merajalela di dunia pemerintah dan politik ini. Humanisasi adalah bentuk dari apa pun dan dengan alasan apa pun yang pasti bertentangan dengan ajaran setiap agama.
Masalah Pada Kemanusiaan
merujuk pada data kepolisian tahun 2017 lalu, sedikitnya polri telah menangani 561 kasus cyber crime. Angka ini mengalami kenaikan 3% dari sebelumnya pada tahun 2016 terdapat 4.931 kasus dari total kejahatan cyber yang ditangani dengan ujaran kebencian yang menduduki jumlah terbanyak yakni 3.325 yang juga mengalami peningkatan dari 1.829 pada tahun sebelumnya.
Dari data tersebut, yang paling banyak terjadi adalah hate speech dengan kasus penghinaan yaitu 1.657 kemudian hate speech dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan sebanyak 1.224 kasus. Di samping itu, hate speech dengan kasus pencemaran nama baik berjumlah 454 kasus. Terlepas dari data tersebut, di tengah arus teknologi informasi yang makin tak terkendali di era milenial, khususnya pada zaman modern sekarang ini banyak atraksi kebencian ramai bertebaran di jagat media sosial. Masih banyak persoalan yang berbau SARA; suku, agama, ras, dan antargolongan kerap kita jumpai. Tak hanya itu, di dalam pemberitaan televisi saja, hampir setiap hari ada kasus seperti pembunuhan, pencemaran nama baik, pelecahan, perampokan, aksi kejahatan, dan lain sebagainya.
Selain itu, kasus pengeboman atau teror tidak kalah ramai sepanjang tahun 2017 sebanyak 172 orang terduga teroris ditangkap. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya yakni 163 orang pada tahun 2016 dan 73 orang pada tahun 2015. Selain itu, kasus yang masih hangat sepanjang Mei 2018 para pelaku telah melancarkan aksi terornya di berbagai daerah di tanah air diawali dengan perusahaan di Mako Brimob Jakarta.
Melihat kasus kemanusiaan yang terus meningkat tiap tahunnya, cukup membuat kita sadar bahwa ada banyak kesalahan dalam kehidupan keagamaan dan kenegaraan. Pertama, akibat dari kebutuhan beragama kesalahan menafsirkan pesan agama mengakibatkan keseluruhan agama dan sumbernya kitab suci (Al-Qur'an) sebagai penyebab masalah, padahal dalam Islam, mengutip seorang cendekiawan muslim tariq Ramadan dalam buku kontekstualisasi filsafat transformatif. Beliau mengatakan bahwa "Tidak ada masalah dalam Islam. Termasuk pula sumber-sumbernya, Al-Qur'an dan as-Sunnah. Satu-satunya masalah yang paling fundamental adalah para penasir Islam itu sendiri. Penafsir yang Saleh yang akan menghasilkan pemahaman tentang kebajikan. Sementara penafsiran yang arogan dan berpengarai jahat, justru menyebarkan pengertian yang penuh dengan bau busuk kemungkaran." Hasnan Bachtiar (2016).
Kedua, dalam pandangan kenegaraan, hal ini juga merupakan dampak dari gagalnya pemerintah dalam menjalankan negara. Karena, fungsi negara adalah mengatur dan menyejahterakan kehidupan bangsa. Tidak salah, jika ada sebagian orang yang berpendapat bahwa maraknya kasus dehumanisasi ini diakibatkan oleh adanya' persoalan ekonomi. Secara sederhana skema dari fenomena ini adalah sebagai berikut: gagalnya pemerintah mengatur negara, mengakibatkan masalah ekonomi (kemiskinan), kemudian kekerasan (segala cara) menjadi alternatif, agama menjadi tumbal, dan kemudian anggapan bahwa persoalan tidak berkemanusiaan ini adalah tanggungan politik dari oknum penguasa.
Ramadan sebagai momentum
Terlepas dari persoalan ini dengan sikap inklusif, mari kita kembali bermuhasabah diri, bagaimana seharusnya beragama dan bernegara yang baik. Dan kita jadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk penyucian jiwa, penghapusan jiwa egoisme dan animalisme yang bertengkar dalam jiwa manusia.
Bulan Suci Ramadan, menjadi bulan penuh berkah. Karena setiap umat muslim di dunia pasti bergembira menyambut datangnya bulan suci Ramadan ini. Oleh karena itu, jadikan momen Ramadan ini sebagai waktu untuk bermuhasabah diri dari segala hal yang buruk dan menjauhi segala larangan-Nya. Agama Islam, juga setiap ajaran agama lainnya menyampaikan pesan moral substansi dari moral agama adalah penguatan terhadap kemanusiaan manusia. Tidak ada satu pun ajaran agama yang menghendaki di humanisasi seperti menyebar kebencian (hate speech) dan aksi terorisme.
Dalam agama Islam, kemanusiaan menjadi hal yang paling mulia bahkan otentitas manusia adalah makhluk yang paling sempurna di muka bumi. Di samping itu, Allah SWT menegaskan dalam surah Al-Ma'un bahwa, celakalah orang yang melaksanakan salat (kesalehan individu) dengan mengabaikan persoalan-persoalan kemanusiaan (kesalehan sosial). Shaum (puasa) di bulan Ramadan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib untuk dilaksanakan bagi orang-orang yang beriman.
Hal itu sebagaimana termaksud dalam surah Al-Baqarah ayat 183. Pesan dari ayat tersebut mengisyaratkan perintah bagi orang-orang yang beriman untuk berpuasa agar mereka menjadi Taqwa. Dampak dari makin tinggi tingkat ketakwaan atau keimanan seseorang, maka makin tinggi pula rasa kemanusiaannya. Ibadah puasa mendidik manusia untuk memiliki karakter cinta, lembut dan kasih sayang dan menjadikan seorang insan halus budinya juga bersih jiwanya serta hatinya.
Bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk memupuk nilai kemanusiaan dalam diri kita yang dapat kita jalankan dengan penuh rasa kemanusiaan serta kelapangan hati dan pikiran dalam memahami kalimat ilahi. Sehingga, amarah kebencian kekerasan lenyap terbakar di bulan ini Ramadan adalah bulan pencucian terhadap jiwa yang terjangkit sifat kebinatangan yang tersimpan dalam diri manusia. Umat beragama harus saling rukun satu sama lain dan kembali menjadi manusia autentik yang berbudi pekerti juga kesalehan spiritual yang berlipat ganda harus ditransformasikan menjadi kesalehan sosial yang berpihak pada cinta kasih kemanusiaan.
Sekali lagi, hate speech dan terorisme adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan, yang bertentangan langsung dengan seluruh moralitas agama. Maka, berpuasalah selama-lamanya atas kebencian dan kekerasan, dan kejahatan. Menjalankan ibadah puasa bukan hanya untuk menahan hawa nafsu dari rasa haus rasa lapar ataupun lainnya. Tetapi, berpuasa pada hakikatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang buruk dan mengumbar kebencian. Raihlah kemenangan di bulan suci ini dengan cinta damai, penuh kerukunan. Sehingga Baldatun Tayyibatun Warabbun Gafur dapat terwujud di negeri tercinta Indonesia ini. amin.
Penulis : Septi Sartika (TIM Redaksi IMM Pos)
Posting Komentar untuk "Esensi Ramadan dan Rasa Kemanusiaan"