Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pejabat Berbisnis Kekuasaan: Refleksi Kepemimpinan Umar Bin Khatab

Mencuatnya beberapa kasus di Tanah Air, akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kasus yang berangsur-angsur terjadi bak air mengalir semakin menunjukkan bahwa terjadi darurat moral di negeri ini. Kasus korupsi, suap, pencucian uang kerap kali pejabat pemerintah ikut terlibat dalam kasus tersebut.

Dalam lingkup negara Indonesia, memang kasus-kasus seperti ini masih menjamur bahkan, menjadi pekerjaan besar bagi setiap periode kepemimpinan presiden.
Masyarakat luas pun ketika mendengar segala hal yang berkaitan dengan instansi pemerintah selalu memberi penilaian negatif. Bahkan, telah menjadi rahasia umum bahwa pejabat selalu identik dengan kegiatan suap-menyuap dalam pelayanan publik. Bukan tanpa alasan, sentimen tersebut muncul atas dasar kejadian di lapangan yang kerap dialami. Misalnya, mengurus surat izin mengemudi yang selalu dipersulit. Sehingga, beberapa oknum banyak menawarkan jasa orang dalam dengan biaya lebih mahal dari yang telah menjadi ketetapan.

Belum lagi dalam konteks yang lebih luas, parlemen yang mestinya melahirkan Undang-undang yang berpihak pada masyarakat luas, justru malah menjadi tangan kanan para oligarki dalam merancang Undang-undang hanya untuk kepentingan bisnisnya. Sehingga, jabatan yang mestinya mandat rakyat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadinya.

Melihat fenomena seperti ini memang sangat miris, kaum intelektual yang sering berdebat persoalan normatif pada akhirnya juga ikut terlibat dalam skandal tersebut.
Sebagai upaya untuk menuntaskan persoalan korupsi dan menciptakan kepemimpinan yang bersih dan transparan selalu menjadi perbincangan menarik. Khususnya tulisan kali ini, penulis akan mencoba menawarkan perspektif baru atas problem-problem yang terjadi dengan sedikit merefleksikan kepemimpinan Umar bin Khatab di era khalifah Islam zaman dahulu.

Seperti yang diketahui, Umar bin Khatab ialah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shidiq, dengan masa kepemimpinannnya pada tahun 634-644 Masehi. Khalifah yang mendapat julukan Amirul Mukminin (komandannya orang-orang beriman) tersebut terkenal sebagai orang yang tegas dan bijaksana dalam membuat sebuah kebijakan. Dalam salah satu peristiwa sebelum mengangkat Gubernur di suatu wilayah, Umar meminta agar para pejabat yang akan diangkat terlebih dahulu dicatat dahulu harta kekayaan pada awal dilantik dan nanti di masa akhir jabatannya. 

Hal tersebut dimaksudkan agar disuatu hari kemudian, apabila terjadi kenaikan harta yang tidak wajar, maka kelebihan hartanya akan ditaksirkan dan diberikan sesuai apa yang menjadi haknya, dan lebihnya akan dimasukkan dalam baitul mal. Kebijakan seperti itu tentu memunculkan pertanyaan, yaitu ada salah seorang yang menanyakan kepada Sang-khalifah, apakah dirinya mencurigainya. Kemudian dijawablah oleh Amirul Mukminin bahwa kebijakan yang dibuatnya hanyalah untuk menghilangkan kerisauannya. Umar mengatakan bahwa kebijakannya untuk mengawasi kekayaan para pejabatnya, karena diperhatikannya banyak yang setelah menjabat kekayaan meningkat drastis. 

Tak banyak dari para pejabat tersebut, mereka berbisnis ketika menjabat. Kemudian, ada salah seorang yang menanyakan bukannya berbisnis itu diperbolehkan. Sang khalifah menjawab "Memang bisnis diperbolehkan, tetapi tidak untuk menugaskan para pejabatnya untuk berbisnis, tetapi pejabat-pejabat itu ditugaskan untuk adil di kalangan masyarakat." Umar khawatir ketika pejabatnya berbisnis masyarakat akan memberikan uang karena jabatannya. Sehingga lebih memperhatikan bisnisnya daripada tugas utamanya sebagai pemimpin.

Dengan demikian, kekayaannya akan meningkat, karena jabatan yang diembannya. Di era masa kini, berbisnis dengan kekuasaan dapat dikontekstualkan dengan fenomena-fenomena para pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk berbisnis. Betapa banyak ditemukan di masyarakat Indonesia, ketika mendaftar menjadi pegawai negeri mesti harus membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada beberapa oknum yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan tersebut sebagai maharnya.

Dalam kasus lain, betapa banyak penegak hukum yang mestinya adil dalam menjalankan tugas, justru menyalahgunakan jabatan untuk berbisnis dengan cara melindungi para penjahat yang merugikan alam dan masyarakat luas. Seperti perlindungan terhadap tambang illegal, narkorba, dan kasus kriminal lainnya. Atau seperti yang telah disebutkan di atas, mereka yang memiliki kecakapan intelektual dan kedudukan penting dalam parlemen malah berbisnis membuat undang-undang untuk kepentingan perorangan saja.

Sebagai kesimpulan sekaligus penutup, dari kisah kepemimpinan khalifah Umar bin Khatab dapat diambil sebuah pelajaran penting bahwa memiliki jabatan ialah persoalan penting yang mesti diperhatikan betul agar membawa manfaat bagi masyarakat luas. Sejatinya, setiap pemimipin mesti bersikap adil kepada siapapun tanpa ada kepentingan apapun. Jabatan bukanlah sebuah berkah namun sebuah musibah. Sebab pertanggungjawabannya tidaklah cukup di dunia, tetapi juga diakhirat.

Kontekstualisasi tersebut mungkin memunculkan perdebatan dengan dalih bahwa manusia yang hidup saat ini tidak bisa disamakan dengan para sahabat yang pernah hidup bersama Nabi dan juga situasi kondisi sekitar yang turut menjadi faktornya. Namun, yang harus menjadi catatan penting bahwa kritik terhadap kekuasaan ini mesti bersifat normatif. Dengan standarisasi ataupun tolak ukurnya pada kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Karena diketahui bersama, bahwa Nabi ialah orang yang maksum atau terjaga dari kesalahan, serta para orang terdekatnya ialah orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Kalaupun alasan diatas tidak cukup rasional karena terlalu dogmatis, maka alasan mengapa kepemimpinan para khalifah dapat menjadi cara pandang baru, mesti dilacak berdasarkaan literatur-literatur ilmiah.

Penulis meyakini bahwa suasana kehidupan semasa ke-khalifahannya masih dapat ditelusuri dan dipelajari. Sehingga, terkait nilai-nilai kebajikan yang ada dapat dijadikan pelajaran serta dalam ruang lingkup kepemimpinan masa kini mesti diejawentahkan secara praksis ataupun sebagai kritik terhadap kekuasaan apabila terjadi penyimpangan.



Oleh: Isa Almasih Putra Muhammadiyah (Kader PK IMM Tamaddun FAI Universitas Muhammadiyah Malang)

Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Pejabat Berbisnis Kekuasaan: Refleksi Kepemimpinan Umar Bin Khatab"