Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

MEMBUMIKAN IDEALISME ISLAM DALAM PERGURUAN TINGGI




IMMPos.com - Saat ini kita memasuki Era disrupsi. Mau tidak mau, era ini memaksa terjadinya perubahan cepat, masif, dan kacau. Pilihannya dua: berubah atau punah.

Begitu blurb dari buku tersebut, bahwa dewasa ini dunia perguruan tinggi dipaksa untuk menghadapi perubahan yang masif. Salah satunya disebut MOOCs (Massive Open Online Courses). Konsep MOOCs lebih mudah, praktis, murah dan legal. Bukan tidak mungkin lambat laun sebuah kompetensi bukan lagi hanya sebuah gelar formal semata yang dinilai, akan tetapi hard skill yang beriringan dengan soft skill menjadi hal yang wajib untuk para pendidik dan yang akan dididik. 

Maka saat ini disebut dengan era disrupsi yang artinya era di mana terjadinya perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh adanya sebuah inovasi yang mengubah sistem dan tatanan bisnis ke taraf yang baru; jika sebuah perguruan tinggi tidak aware terhadap era ini, bisa dipastikan terjadi ketertinggalan baik dari sistem dan juga menggoncang iman dan akhlak pendidik dan mahasiswa.

Tantangan pembinaan iman taqwa di perguruan tinggi semakin berat. Tetapi, peluang justru sangat terbuka lebar bagi Pondok-pondok Pesantren untuk mewujudkan Perguruan Tinggi ideal, sesuai dengan misi pesantren dan Tujuan Pendidikan Tinggi (UU no 12/2012).

Sebuah pesan Rasulullah Saw, bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya. Orang tua si anak itu yang mendidik mereka menjadi "Yahudi", "Nasrani" atau "Majuzi". Mau kita jadikan apa anak kita?  Maka, memasuki era disrupsi ini, orang tua harus bijak dalam mendidik dan memberikan peluang pendidikan  untuk anak kita, dalam berfikir realistis tanpa meninggalkan nilai-nilai agama serta mencoba untuk meninggalkan pola sekuler, plural, liberal dan materialis dalam mengerahkan anak-anaknya dalam dunia pendidikan.

Yang lebih menarik lagi adalah bagaimana gagasan kritis tentang sebuah kriteria perguruan tinggi islam yang terbaik. Para akademisi muslim seharusnya membuat instrumen kriteria perguruan tinggi bukan berdasarkan instrumen kapitalis yang menyebabkan ghazwul fikr semakin masif dan budaya Islam semakin terkikis. Para akademisi Muslim harus menjadikan instrumen nilai-nilai Islam sebagai kriteria penilaian yang utama untuk kampus terbaik. 

Misalnya, berlandaskan hadits Rasulullah Saw, "Bahwa manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesama; dan manusia terbaik adalah yang terbaik akhlaknya; juga, orang terbaik adalah yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an”, (Adian Husaini, 2019)

Gagasan yang dibangun dalam buku ini akan terdengar asing bagi sebagian kampus Islam. Tetapi itu tidak menjadi persoalan karena memang kampus-kampus Islam tetap patuh dan taat terhadap aturan-aturan pemerintah yang dalam hal ini pemangku administratif perguruan tinggi berada di tangan BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi).

Jumlah mahasiswa, lulusan terserap dunia kerja, prosentase dosen berpangkat, luas gedung, ketersediaan fasilitas, jumlah artikel dosen di jurnal terakreditasi, dan lain-lain menjadi target kejaran kampus untuk menaikkan rangking universitas.
 
Tidak jarang kampus harus “mengatur strategi” untuk mendapatkan akreditasi yang tinggi dalam penliaian BAN-PT, dan penialaian BAN-PT saat ini menjadi acuan dalam standarisasi kualitas perguruan tinggi. Sehingga budaya dan akhlak dan nilai-nilai islam terabaikan meskipun itu perguruan tinggi Islam demi mendapatkan nilai di atas kertas dan sertifikat fana namun tetap mengaku sebagai kampus Islam.

Tidak menjadi masalah intrumen penilaian yang ditawarkan menjadi acuan dalam penilaian. Akan tetapi, kampus islam juga harus memiliki standar khusus sebagai nilai tambah dan menjadi intrumen penilaian tertinggi dalam akreditasi. Dan hal ini harus mengacu kepada nilai-nilai Islam yang berlandaskan syariat Islam. Nilai-nilai adab dan akhlak harus dibumikan dalam idealisme mahasiswa dengan menguatkan keislaman di dalam hati mereka dengan membuat kurikulum yang berlandaskan keislaman. Sehingga akhirnya keislaman menyatu dalam budaya ilmiah kampus.

Tradisi adab, akhkak dan taqwa di perguruan tinggi menyatu dengan karakter mahasiswa. Jika dibuat program khusus di dalam kampus; apakah itu kurikulum kepesantrenan atau boarding, niscaya kemampuan mahasiswa jika dikembangkan dengan baik yang kemudian akan melahirkan manusia yang memiliki skill khusus dalam adab, akhlak dan ketaqwaan.

Pertanyaannya bagiamana melahirkan generasi terbaik dari dalam kampus terkhusus kampus Islam? disinilah persoalan dan tantangannya. Pendekatan filsafat ilmu dalam hal ini sangat menentukan. Manusia sholih, beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia tidak lahir dari mahasiswa yang mendapatkan internalisasi pikiran filsafat ilmu sekular. Cita-cita baik melahirkan manusia baik, harus dilakukan dengan pendekatan yang baik.

Jika kampusnya adalah berbasis pesantren, maka harusnya pendekatan filsafat ilmunya digali dari turats-turats Islam. Teori, konsep dan pemikiran tentang ilmu dari turats itu sangat melimpah. Pekerjaan kampus Islam sekarang adalah mengelaborasi turats yang melimpah itu untuk menjejak pemikiran tentang konsep ilmu para ulama. Ironisnya, hal demikian belum banyak dilakukan. Kampus Islam, bahkan yang berbasis pesantren, masih mengandalkan pendekatan filsafat ilmu sekular.

Beberapa kitab turats yang mesti dirujuk antara lain; Bab Ilmu kitab Ihya Ulumuddin imam al-Ghazali, ‘Aqoid an-Nasafi, Ushuluddin Abdul Qohir al-Baghdadi, Uyunul Hikmah Ibnu Sina, Mizanul Ilmi, Risalah al-Laduniyah imam al-Ghazali, Ihsa’ul Ulum al-Farabi, Ar Risalah imam Syafii. Belum lagi karya-karya Hakim at Turmudzi, Ibnu Athoillah as-Sakandari, Ibnu ‘Arabi, dan lain-lain masih banyak lagi. Jadi, tugas kampus Islam dalam hal ini adalah menyusun buku-buku kuliah untuk filsafat Ilmu perspektif Islam.

Syed Ali Tawfik al-Attas menjelaskan tantangan perguruan tinggi Islam antara lain adalah universitas dilihat hanya sekedar pendidikan praktis yang menyiapkan sarjana; siap mengamalkan sains dalam pekerjaan. Artinya orientasi univeristas adalah pragmatis materialis. Inilah tantangan internal (dalaman) yang dihadapi universitas islam sekarang (Ali Tawfik al-Attas, Cabaran-Cabaran Pendidikan Tinggi dalam Mohd Zaidi Ismail & Wan Suhaimi Wan Abdullah dalam Adab dan Peradaban Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas,(Kuala Lumpur, MPH Publishing, 2012), hal. 345).

Pengajaran menurut perspektif Islam itu bukan bersifat juz’i (parsial) tetapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya, kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggambungkan seluruh ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, kalam, tafsir, hadis, tasawuf. Menggabungkan antara ilmu syariyyah dengan ilmu duniawi. Secara akal akademik kuat, ditopang oleh fondasi ilmu syariyyah.

Tentu saja proyek demikian harus dilandasi oleh konsep ilmu yang benar dan kuat. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Prof. Al-Attas) menjelaskan dalam Risalah untuk Kaum Muslimin karakteristik penting ilmu dalam Islam, bahwa ilmu dalam Islam terkait rapat dengan pengenalan diri, pengenalan kepada Allah, akhlak, adab, Negara, masyarakat. Maka, tidak bisa disebut berilmu bila ilmunya terpisah dari hal tersebut. Sementara, filsafat ilmu sekular memisahkan ilmu dengan perkara-perkara tersebut.

Prof. Al-Attas pernah membangun kampus Islam bernama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) yang cita-citanya mengungguli kampus-kampus Barat ternama. Pakar-pakar ternama dunia diundang mengajar di sini. Dari Timur dan Barat. Kampus ini luar biasa. Membangun tradisi ilmiah murni dari Islam.

Boleh dikatakan, kampus Islam terbaik yang dibangun di era modern. Jika di zaman Abbasiyah ada kampus Nidzamiyyah, maka di era modern ada ISTAC. Maka, ISTAC merupakan model terbaik kampus Islam di zaman modern. Kampus seperti ini harus tetap menjadi impian. Minimal menjadi contoh.

Maka untuk membangun peradaban manusia yang baik, maka kampus islam semestinya kembali ke khittahnya. Khittah kampus Islam itu berbudaya dan beriklim akademik tradisi Islam. Ia perlu berdiri independen. Berjalan dengan kurikulum, pendanaan, dan kriteria atau standarisasi yang independen. Menurut Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, seyogyanya universitas islam tidak dipecah menjadi jabatan-jabatan yang terpisah dan saling terasing seperti berlaku di fakultas-fakultas kebanyakan universitas modern. Universitas semestinya mencerminkan istilah asalahnya yaitu kulliyah, yang mengacu pada hakikat keadaan yang saling berkait dan menyeluruh.

Kampus Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Model pendidikan, tidak saja dimodifikasi untuk mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi lebih penting lagi, adab dan esensi konsep Islam harus menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan islam. Tetapi, yang lebih penting untuk hal itu semua adalah adanya pemimpin kampus islam yang baik berkualitas.

Pemimpin kampus islam tidak selayaknya hanya seorang pengurus saja. Tapi ia pemimpin pengurus sekaligus pemimpin ilmiah. Memiliki otoritas bidang ilmu. Karena perguruan tinggi adalah institusi ilmiah, maka harus dipimpin oleh orang yang memiliki daya pemimpin ilmu yang kreatif, yang mampu menyelesaikan persoalan keilmuan islam.

Walhasil, produk peradaban modern yang baik diambil. Adapun yang merugikan, dilepas dan diganti dengan produk-produk peradaban dalam tradisi islam. Jangan sampai kampus islam tetapi adopsinya kaffah pada produk kampus modern yang sekular. Selektif kreatif, adaptif kritis.


Oleh : Dian Oka Putra
(Mahasiswa Doktoral Univ Ibn Khaldun-Bogor)
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "MEMBUMIKAN IDEALISME ISLAM DALAM PERGURUAN TINGGI"

4-comments