Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengayaan Purifikasi dan Dinamisasi


Muhammadiyah pasca Kyai Ahmad Dahlan memiliki jargon dan alam pikiran tentang pemurnian atau purifikasi yang sangat-sangat kuat. Tema “ar-ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah”, “tajdid”, “amar ma’ruf nahi munkar”, serta gerakan anti “TBC” (tahayul, bid’ah, “chufafat”) sangat kental dengan makna pemurnian. Tampilan pemikiran keislaman Muhammadiyah menjadi tampak kaku, keras, dan dogmatis atau doktriner.

Pemaknaan “murni” atau “pemurnian” yang menjadi isu-isu sentral Muhammadiyah kala itu tidaklah keliru dan tentu memiliki konteks sosiologis yang boleh jadi relevan pada saat tertentu. Tetapi, makna dan cakupan pemurnian dari tema-tema penting dan mendasar dalam pemikiran keislaman tersebut cenderung terbatas dan tidak memadai bila dirujukkan pada kandungan ajaran Islam yang fundamental dan multi aspek maupun maksud dan konteks yang lebih luas dari pemikiran keagamaan tersebut.

Majelis Tarjih di kemudian hari setelah Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta (2000) dan Malang (2005) memperluas “Manhaj” pemikiran keislaman dengan aspek “pengembangan” atau “dinamisasi” baik yang terkandung dalam pemaknaan tajdid maupun pemikiran keislaman secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan memperkaya pemikiran keislaman melalui pendekatan bayani (nash-verbal dan tekstual), burhani (nash-rasional dan kontekstual), dan irfani (ruhani-ihsan) yang interkoneksi menjadi semakin lengkap atau kaya.

Karenanya kini dalam pemikiran dan orientasi tindakan keislaman di tubuh Muhammadiyah diperlukan pengayaan (enrichment, isyraa al-afkar) baik mengenai substansi maupun pandangannya. Termasuk pengayaan dalam pemikiran dan praktik keislaman yang bersifat atau dalam aspek pemurnian (purifikasi) maupun pengembangan (dinamisasi) agar diperoleh substansi dan implementasi ajaran Islam yang mendalam, luas, dan multiperspektif menuju pada keyakinan, pemahaman, dan pengamalan Islam yang sebenar-benarnya.

Pengayaan Purifikasi
Purifikasi merupakan keniscayaan dalam beragama khususnya di bidang akidah dan ibadah. Keduanya merupakan aspek yang harus kokoh dijaga kemurniannya. Akidah setiap muslim harus lurus dalam bertauhid serta terbebas dari segala bentuk kemusyrikan, tahayul, dan khurafat. Ibadah juga niscaya mengikuti contoh Rasulullah, tidak boleh bid’ah atau ditambah dan dikurangi, kecuali dalam hal yang tidak terinci aspek dan pelaksanaanya secara detail yang memerlukan ijtihad secara khusus. Aspek akhlak pun dalam Islam harus jelas patokannya apa yang diperintahkan Allah dan disunnahkan Rasul, sehingga dalam hal tertentu norma akhlak tidak bersifat situasional seperti larangan minuman keras, berzina, tidak boleh hubungan seksual sejenis, dan sebagainya.

Namun bersamaan dengan itu pemurnian bidang akidah dan ibadah serta sampai batas tertentu akhlak, tidak boleh kering dan bias dalam pemahaman dan pengamalannya. Akidah dan tauhid penting dipahami secara mendalam, luas, dan tafsir yang multi pandangan agar tidak parsial dan dogmatis semata. Bagaimana bertauhid yang murni membentuk kesalehan yang berjiwa insan, ikhlas, tawadhu’, serta sikap baik lainnya yang jauh dari sikap tazakku atau merasa diri paling suci atau bersih (QS Al-Najm: 32). Bagaimana meletakkan habluminallah dengan habluminannas secara benar dan baik, sebagaimana keterkaitan iman, taqwa, dan amal shaleh. Menegakkan tauhid murni pun penting dengan sikap dan cara dakwah yang benar dan baik sebagaimana diajarkan Nabi.

Ibadah pun bukan hanya dipahami aspek rukun semata, tetapi juga khusyuk dan fungsi kebaikan (tahsinah) dari ibadah itu. Ibadah itu tidak terbatas shalat dan shaum. Selain ibadah shalat dan puasa misalnya, terdapat juga ibadah zakat dan haji yang sangat terkait dengan mu’amalah dunyawiyah terkait istitha’ah (kemampuan) dan nishab (ambang batas kemampuan) yang meniscayakan orang Islam harus mampu menguasai urusan dunia termasuk memiliki kekayaan tertentu agar mampu berzakat dan berhaji. Orang yang baik shalatnya bukan hanya berhasil menunaikan rukunnya termasuk rajin shalat berjama’ah dan shalat sunat, tetapi juga yang khusyuk dan mencegah dirinya dari keburukan dan kemunkaran. Selain nilai shalat, Nabi juga menilai tinggi orang berilmu.

Dengan demikian aspek pemurnian akidah dan ibadah tidak serba sempit, verbal, dan doktrinal tetapi dipahami dengan tafsir bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi. Demikian halnya akhlak bukan hanya seperangkat norma baik dan buruk yang harus menjadi patokan, tetapi juga dipraktikkan dalam keteladanan atau dunia kenyataan sehingga setiap muslim berkepribadian mulia. Berakhlak baik kepada Allah, Rasul, sesama manusia, dan lingkungan termasuk bagian dari ajaran akhlak dalam Islam.

Akhlak Islam bahkan harus diwujudkan menjadi keadaban publik sehingga seluruh umat manusia dan lingkungannya memperoleh rahmat dari akhlak kaum muslim di manapun berada. Dakwah amar makruf nahi munkar (AMNM) perlu fiqih dakwah yang menggunakan pendekatan bil-hikmah, edukasi yang baik, dan mujadalah yang terbaik sebagaimana diajarkan Allah (QS An-Nahl: 125). Dakwah AMNM dan gerakan pemurnian tidak identik serba konfrontasi (ta’arud) dan menimbulkan antipati seperti dilakukan seseorang yang menendang sesajen dengan aura nafsu di kawasan Semeru yang sedang ditimpa musibah.

Pengayaan Dinamisasi
Bagaimana dengan bidang mu’amalah seperti ekonomi, politik, budaya, dan semua urusan keduniaan? Muhammadiyah memandang bahwa urusan duniawi atau “mu’amalah dunyawiyah” merupakan ranah ijtihad manusia. Pandangan tersebut merujuk pada hadits Nabi, “Antum ‘alamu biamri dunya-kum”, yang artinya “kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu” (HR Muslim). Dalam “Masalah Lima” tentang pengertian “Apa itu dunia” disebutkan “ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi, yaitu perkara/pekerjaan/urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan manusia.”.

Ranah mu’amalah dalam Islam memang tidak lepas dari ajaran Islam, tetapi rincian aspek dan pengelolaannya diserahkan pada kaum muslim untuk berijtihad, sehingga lebih fleksibel dan leluasa. Di kalangan umat Islam dari seluruh mazhab menyepakati hukum muamalah bersifat “al-ibahah” (boleh) dalam kaidah “al ashlu fi al-mu’amalati al-ibahatu illa ma yadullu dalilu ‘ala tahrimiha”, artinya “Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. Sebaliknya dalam urusan ibadah “al ashlu fi al-‘ibadati at-tahrimu illa ma yadullu dalilu ‘ala al-awamiriha”, bahwa “Hukum asal dalam beribadah adalah haram kecuali yang ada dalil yang memerintahkan”.

Karenanya dalam urusan politik, ekonomi, budaya, dan aspek keduniaan lainnya sebenarnya hukum dasarnya banyak bolehnya daripada larangan atau tidak boleh. Sebaliknya dalam urusan ibadah banyak larangannya daripada bolehnya. Dengan demikian jangan dibalik keduanya. Urusan dunia menjadi banyak larangannya seperti urusan ibadah, sehingga dalam menghadapi persoalan-persoalan keduniaan menjadi kaku, rigid, hitam-putih, dan doktrinal. Urusan dunia jangan menjadi serba mengandung prinsip padahal sejatinya banyak ranah cabang dan rantingnya, sehingga bersifat luwes dan luas, serta tidak sempit dan rumit. Pandangan ini bukan berarti serba-boleh dalam arti sekuler, pragmatis, dan oportunistik, tetapi menyangkut keluwesan dan keluasan aspek serta cara dalam menyikapi dan menjalankan urusan-urusan mu’amalah dunyawiyah.

Kenapa “al-ibahah”? Dunia itu sesuatu yang nyata dengan aspek tempat, keadaan, dan waktu yang seringkali mudah berubah dan dinamis. Betapa banyak urusan keduniaan itu multiaspek, multifaktor, dan multikonteks sehingga memerlukan pemahaman serta pelaksanaan yang bersifat ijtihadiyah. Untuk apa? Agar umat Islam dapat mencapai kemajuan yang tinggi di bidang politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan aspek kehidupan duniawi lainnya sehingga tercapai kemajuan kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Kemajuan yang tinggi tersebut tidak mungkin diraih bila urusan duniawi banyak larangannya, hitam-putih, dogmatis, sempit, dan negatif dalam menghadapinya.

Apalagi menjauhkan diri dari urusan-urusan dunia, padahal Allah menjadikan manusia sebagai “khalifat fil-ardl” atau wakil Tuhan dan Nabi untuk mengurus kehidupan dunia dan memakmurkannya dengan benar, baik, dan maslahat serta menjauhkan yang salah, buruk, dan mafsadat. Menurut sufi ternama Jalaluddin Rumi, bila orang-orang shaleh menjauhi dunia maka jangan disalahkan jika orang-orang zalim yang berkuasa di muka bumi. Hidup semuci atau merasa diri paling bersih dan anti terhadap dunia tidak dibenarkan dalam Islam. Orang beriman, bertaqwa, dan bersih itu harus berilmu, beramal shaleh, dan memakmurkan bumi secara proaktif sehingga kehidupannya bermakna dan menjadi “Syuhadaa ‘ala al-Nas” serta “Rahmatan lil-‘alamin”.

Apakah dengan “al-ibahah” akan menjadikan orang Islam atau kaum muslim serba pragmatis, oportunistik, dan sekuler? Sebenarnya tidak akan terjadi hal demikian karena landasan nilai dan norma pokoknya kokoh dalam ajaran Islam. Yaitu Islam yang dipahami dan dipraktikkan secara mendalam dan luas dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi dan multiperspektif sebagaimana dalam pandangan Islam Berkemajuan yang dijadikan pandangan keagamaan Muhammadiyah.

Kaum muslimin dan warga Muhammadiyah harus percaya diri tampil menjadi “Khaira Ummah”, bukan menjadi golongan atau orang yang menjauhi dunia dengan sikap serba anti-kehidupan. Di sinilah pentingnya anggota, kader, dan lebih-lebih para pimpinan di seluruh lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah benar-benar memahami serta mempraktikkan Islam di tengah dinamika kehidupan sepanjang zaman dalam kekayaan perspektif Islam Berkemajuan!


Oleh Prof DR H Haedar Nashir, M.Si.
Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2022
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Pengayaan Purifikasi dan Dinamisasi"

4-comments