Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Membangun Demokrasi Substantif

Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Indonesia tahun ini mengalami kenaikan indeks demokrasi dari 6,30 menjadi 6,71. Kenaikan tersebut secara kuantitatif menunjukkan perbaikan dalam kehidupan demokrasi. Sama halnya dengan posisi Indonesia yang menempati nomor tiga sebagai negara demokrasi setelah Amerika Serikat dan India. Alhamdulillah suatu kondisi yang patut disyukuri sebagai buah dari reformasi 1998 yang meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru. Indonesia bahkan dikenal dengan kehidupan demokrasinya yang liberal, termasuk di dalamnya hak asasi manusia dan pluralisme.

Namun demokrasi tidak cukup ukuran aktualisasinya secara verbal dan kuantitatif semata, tetapi juga memerlukan konfirmasi secara nyata dan kualitatif, sehingga terdapat keutuhan dalam praktik demokrasi. Apakah benar misalnya saat ini orang bebas berpendapat, ketika pendapat itu dianggap mengganggu otoritas kekuasaan. Bagaimana dengan kehadiran para buscar di sekitar kekuasaan? Bagaimana dengan praktik oligarki politik yang sangat kuat, sehingga suara yang berbeda memang tidak diberantas, tetapi sama sekali tidak didengar dan dinegosiasikan atau diakomodasikan.

Ketika ada kehendak politik dan publik tetapi bertentangan dengan esensi Pancasila, juga agama dan kebudayaan Indonesia, apakah demokrasi memiliki pijakan nilai dalam implementasinya? Atau atas nama demokrasi masih saja dibolehkan dan dibenarkan. Hal-hal demikian itulah antara lain yang menuntut pentingnya aspek demokrasi yang substantif dalam kehidupan berdemokrasi.

Paradoks Demokrasi
Menurut banyak kajian, pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar setelah Tongkol, Amerika Serikat, India, Indonesia, dan kelima Jerman. Potensi ekonomi ini perlu dikonsolidasi dan diakselerasi supaya Indonesia tidak kehilangan momentum. Salah satu agenda yang berat, adalah pengelolaan demokrasi. Termasuk mengendalikan media sosial yang sangat liberal di negeri ini, sehingga Indonesia menurut hasil survei Microsoft termasuk negara yang paling rendah tingkat kesopanannya dalam menggunakan media sosial di banding negara-negara ASEAN lainnya.

Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Tanpa adanya upaya dan kesadaran untuk mereformasi dan mengkontekstualisasikan ulang makna demokrasi, demokrasi akan jatuh pada situasi paradoks sebagaimana dinyatakan dalam buku Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, yaitu “How Democracies Die” seperti terjadi di Amerika Serikat di era Presiden Trump. Demokrasi berjalan tanpa substansi dan dibelokkan arahnya.

Bangsa Indonesia jangan sampai mengalami ironi demokrasi seperti terjadi di negara lain. Seperti adanya sejumlah undang-undang dan kebijakan kementerian yang menimbulkan kegaduhan dan diharapkan tidak dipaksakan yang dapat mencederai demokrasi. Secara verbal dan kuantitatif Indonesia sangat demokratis, tetapi praktik kehidupan berbangsa dan bernegara tidak benar-benar demokrasi secara esensial dan kualitatif.

Ambil contoh. Di masa Orde Baru rezim pemerintahan otoriter yang berada di tangan kekuatan eksekutif yang sangat dominan. Parlemen atau kekuasaann legislatif hanya menjadi stempel saja, sedangkan lembaga yudikatif dikontrol sepenuhnya oleh eksekutif. Karenanya diperlukan reformasi untuk terjadinya check and balances atau keseimbangan antara tiga pilar kekuasaan negara tersebut secara saling kontrol satu sama lain. Salah satunya eksekutif juga dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana legislatif.

Kini dengan demokrasi langsung semuanya dipilih langsung, baik eksekutif maupun legislatif. Namun dengan dipilih langsung eksekutif baik pusat maupun daerah sangatlah kuat, sehingga sulit dikontrol oleh legislatif maupun kekuatan publik. Ketika suatu kebijakan eksekutif ditentang, tetap saja berjalan dan diberlakukan. Alasannya eksekutif memperoleh mandat penuh dari rakyat. Memang kini ada pembatasan periode eksekutif, tetapi secara kualitatif sulit mengontrol eksekutif saat ini karena merasa dipilih langsung oleh rakyat.

Demokrasi Substantif
Persoalan demokrasi bukan sekadar menyelesaikan berbagai prosedur tetapi mengimplementasikan demokrasi substantif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak dikelola dengan baik, demokrasi semu tanpa substansi itu akan menjadi problem baru, antara lain melahirkan oligarki. Baik itu oligarki ekonomi, oligarki politik, bahkan oligarki keagamaan. Di mana ada kelompok-kelompok agama yang merasa paling berkuasa di negara-negara di tengah agama-agama itu hidup. Karenanya diperlukan konsolidasi demokrasi yang substantif.

Demokrasi mengandung prinsip substantif bahwa kekuasaan itu berbagi, sementara kekuasaan kecenderungannya monopoli atau oligarki, maka yang sering terkalahkan dalam demokrasi prosedural itu ialah demokrasi itu sendiri. Contohnya berbagai undang-undang yang kontroversi di muka publik dan mengandung persoalan-persoalan krusial bagi masa depan bangsa akan dengan mudah diabsahkan karena eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling bertemu kepentingan kekuasaan. Maka tidak akan ada yang bisa membendung bila proses monopoli atau oligarki politik itu sangat dominan dalam praktik negara demokrasi. Demokrasi substantif meniscayakan pembagian dan berlakunya check and balances yang benar, jujur, dan terbuka.

Demokrasi substantif juga harus terkoneksi dengan tujuan nasional, yakni terwujudnya kehidupan yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia harus menjadi negara yang benar-benar maju lahir dan batin, jiwa dan raga, serta membawa pada kesejahteraan yang baik bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Jangan sampai kemajuan hanya diperoleh secara fisik tetapi keropos jiwa dan mental spiritualnya, serta kemajuan hanya dinikmati oleh segelintirr orang tanpa keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi yang membawa Indonesia maju secara utuh dan merata.

Persoalan substantif lainnya menyangkut dimensi etik atau moral dalam berdemokrasi. Kekuasaan yang kuat dan dominan biasanya tidak akan rela melepaskan kepentingannya kepada pihak lain yang dianggap lemah untuk bersama-sama saling memberi dan menerima kecuali yang sejalan dengan kepentingan kekuasaannya kecuali jika etik dalam dirinya hidup, bahwa membangun bangsa dan negara itu memerlukan kebersamaan. Civil society apapun tidak akan memperoleh tempat dalam sistem politik yang digdaya seperti itu, kecuali yang bisa memberi dukungan bagi kekuasaan. Apalagi warga atau rakyat yang tidak terorganisasi, sering terkalahkan kepentingannya misalkan dalam proyek-proyek besar negara meski bersuara keberatan.

Demokrasi Indonesia harus berbasis Pancasila, yaitu didasarkan pada “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sekaligus demokrasi yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada titik inilah aspek etik atau moral menjadi niscaya untuk menjadi bagian dalam sistem politik demokrasi yang ditegakkan di atas prinsip hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.


Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2022
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Membangun Demokrasi Substantif"

4-comments