Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Indonesia Darurat Korupsi, Haruska Koruptor Dihukum Mati?

Satu tahun menjelang akhir dari periodesasi Jokowi - Ma'aruf, tentu menyisakan banyak sekali PR bagi pemimpin selanjutnya, baik itu terkait kemiskinan, pembangunan infrastruktur, pemulihan lingkungan, pendidikan, peningkatan ekonomi, dan juga yang mencakup persoalan pemberantasan korupsi yang sampai saat ini masih terus menjangkiti negri ini. Fokus utama dari pandangan penulis adalah bagaimana kemudian kita bisa melahirkan sebuah negara yang bersih dari korupsi? 
Sebelum masuk pada pembahasan, perlu kiranya kita lebih tertib terkait Bagaimana sebenarnya kita memaknai Arti dari kata "Korupsi" secara spesifik. 
Mengutip GramediaBlog, bahwa " korupsi " berasal dari kata latin yaitu ''corruptio'' atau ''corruptus'' yang artinya kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, bisa disuap, dan tidak bermoral kesucian. Dimana, kata tersebut kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis yaitu “Corruption” yang artinya menyalah gunakan wewenang untuk menguntungkan dirinya sendiri. 

Dilansir dari CNBC Indonesia, bahwa Indeks korupsi Indonesia (corruption perceptions index/CPI) peringkat 112 dari 180 negara tahun 2022, Kasus korupsi terungkap era Jokowi mencapai kerugian negara ratusan triliun rupiah. Beberapa hari sebelumnya Johnny G Plate yang menjabat Menkominfo juga terseret kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) yang diduga menimbulkan kerugian mencapai Rp 8 triliun. Besarnya nilai tersebut belum seberapa dan masih banyak lagi yang terjadi pada era Jokowi. Kasus korupsi yang terungkap selama periode Presiden Jokowi ditaksir mencapai ratusan triliun.
Peliknya menguak kasus korupsi tentu membutuh sebuah badan yang konsentrasi mengurusi permasalah ini. Di Indonesia pemberantas kasus korupsi secara intensif dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa disingkat KPK. Lembaga ini berstatus independen dan memiliki peranan penting sebagai superbody yang memiliki kewenangan luar biasa dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.

Tapi sebagian akademisi menilai bahwa belakangan ini terjadi penurunan kualitas dari lembaga KPK yang diakibatkan oleh faktor bahwa KPK tidak lagi independen karena telah terkontrol oleh eksekutif lewat Dewan pengawas dan juga akibat Revisi UU KPK yang menimbulkan dampak penurunan kualitas kinerja KPK itu sendiri, apatalagi banyak yang menyoroti sikap mewah dari ketua KPK Firli Bahuri yang diduga publik sangat mencurigakan, Yang akhirnya membuat kepercayaan publik menurun terhadap KPK saat ini. 

Diluar dari pada itu, Perspektif struktural fungsionalisme memandang bahwa menjamurnya praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfunginya hukum dalam menciptakan tujuannya yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di masyarakat. Peraturan undang-undang sebagai produk hukum tentu tidak berjalan sendiri dalam implementasinya, hukum melibatkan para penegak hukum, maka para penegak hukum ini turut memegang kunci suksesnya hukum di masyarakat sebab menurut kaum fungsionalisme, " keteraturan tercipta karena berfungsinya unsur-unsur yang saling terhubung satu sama lain. 
Pada konteks penulisan ini maka yang dimaksud unsur-unsur saling terhubung adalah kerjasama antara KPK, masyarakat dan lembaga hukum lainnya dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Tapi fakta berbicara lain, ketika kita mengingat banyak sekali kasus korupsi yang justru terjadi dalam tubuh institusi - institusi penegak hukum itu sendiri, kita mengingat kasus Pada penghujung tahun 2013 Indonesia sempat digemparkan atas penangkapan Akil Mochtar mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang melakukan kasus korupsi dengan memuluskan kecurangan dalam sengketa pilkada di beberapa daerah seperti Pilkada Lebak Banten, Pilkada Tapanuli Tengah, dan Pilkada Palembang.

Kemudian yang terjadi pada Kasus Jaksa Pinangki juga turut menjadi deretan nama aparat hukum yang terjerat kasus korupsi di tahun 2020. Pinangki menjadi terdakwa atas dugaan kasus korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) dengan maksud agar dapat meloloskan Djoko Tjandar dari eksekusi vonis dua tahun akibat kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Untuk memuluskan rencana tersebut Djoko Tjandra menghadiahi Jaksa Pinangki sejumlah uang sebesar 500 dollar Amerika.
Meninjau dua kasus korupsi yang menjerat aparat hukum ini menarik apabila meminjam istilah dalam sosiologi yaitu sosialisasi tidak sempurna dalam konteks kajian sosiologi hukum dapat diartikan bahwa hukum sebagai media dan sumber sosialisasi tidak dapat memenuhi tugasnya dikarenakan terjadi disfungsi peran dan status para aparat penegak hukum yang bertanggung jawab sebagai agen sosialisasi. Mochtar Lubis dalam bukunya pernah membahas soal karakter manusia Indonesia yang hipokrit, dan bekarakter lemah. Hal ini tampak nyata pada kedua oknum aparat hukum tersebut.

Kedua oknum tersebut pandai memainkan peran bagaikan di panggung sandiwara disatu sisi bertindak sebagai penegak hukum dan disisi lain justru menjadi sumber belenggu hukum. Permainan peran seperti ini dapat dianalisis melalui teori dramaturgi yang dipopulerkan oleh Erving Goffman. Berdasarkan sudut pandang teori ini manusia memiliki dua sisi, yakni front stage dan backstage.Fronstage atau panggung depan adalah tempat manusia menampilkan diri dengan " tidak apa adanya " alias manipulatif sebab paksaan peran dan statusnya di masyarakat hemat kata citra publik. Sedangkan backstage atau panggung belakang tempat manusia menjadi dirinya sendiri sebab terlepas dari paksaan mereka sebagai makhluk sosial, singkat kata kararkter sesungguhnya. 
Artinya dalam kasus korupsi yang melibatkan Akil Mochtar dan Jaksa Pinangki, keduanya melakukan manipulasi citra publik (front stage) dengan cara melakukan peran sebagai penegak hukum dengan seaka-akan sesuai ketentuan yang ada namun di lain sisi dan situasi yang berbeda (back stage) mereka melakukan pelanggaran hukum.

Menarik kesimpulan sederhana bahwa untuk melihat Indonesia kedepan menjadi Indonesia yang bersih dari korupsi, penulis berpendapat bahwa Hukuman mati itu harus diberlakukan sebagai upaya untuk membuat para koruptor jera dan mengecoh psikologi orang-orang yang baru ingin korupsi atau yang berfikiran terjun di ranah politik untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Adapun dasar dari pemberlakuan hukuman mati yaitu, Hukumam mati dapat menjadi deterrent terhadap kejahatan, Hukuman mati dapat memberikan keadilan bagi korban(Rakyat), Hukuman mati dapat mencegah pelaku kejahatan untuk mengembalikan perbuatannya.
BillahiFisabililhaq Fastabiqul

Oleh : Agus Maulana (Ketua Bidang Organisasi Pikom IMM SOSPOL Unismuh Makassar)
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Indonesia Darurat Korupsi, Haruska Koruptor Dihukum Mati?"

4-comments