Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IMM, Abdul Musawir, Dan Arak-Arakan Menuju PSI

Kader-kader IMM sempat digemparkan dengan tayangan video memperlihatkan Tum Abdul yang diarak menuju tempat Ketua Umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kaesang Pangarep.

Sebagian kader merah maron kebakaran jenggot melihat kejadian itu, sebagian lagi mengapresiasi mendukung diaspora kader imm dengan harapan dapat membentuk tatanan baru politik dari dalam. 

Seperti ungkapan usang yang pesimis dari sosok Aktivis keturunan tionghoa Soe Hok Gie yang baginya politik merupakan barang yang paling kotor,lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. 

Mungkin langkah yang di ambil Tum Abdul merupakan perwujudan dari kalimat Gie. Namun bedanya dengan Gie, Gie memilih mati di gunung sedangkan Tum Abdul memilih mencelupkan diri kelumpur babi Ooopps lumpur politik maksud saya.

Beberapa kalangan aktivis imm menentang keras kejadian itu apalagi dengan membawa simbol organisasi, baginya apa yang dipertujukkan DPP IMM merupakan bentuk penyimpangan yang luar biasa. Hal yang wajar untuk memahami keresahan para aktivis merah maron ini, dan tentu menjadi pertanda bahwa kritisisme di lingkup IMM belum sepenuhnya redup.

Memang debat antara intelektualisme dan kekuasaan sudah lama terjadi. Intelektualisme, dalam tudingan Julian Benda, intelektual Perancis yang madzhabnya tentang negara dan kekuasaan banyak menjadi referensi para intelektual dan politisi di Indonesia, harus dipisah dengan kekuasaan.

Akademisi sebagai representasi intelektualisme, mereka adalah para penjaga benteng moral sebuah bangsa. Sedang kekuasaan adalah mesin represi dan penindas paling efektif, tesisnya. 

Benda bahkan menulis, adalah sebuah bentuk pengkhianatan besar bagi kaum intelektual apabila mereka terlibat dalam kancah politik praktis dan kekuasaan.

Namun Karl Mannheim, sosiolog Hungaria, sudah membantahnya. Mannheim menuduh para cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja politik praktis justru itulah pengkhianatnya. Sebab moralitas bukan hanya bahan diskusi ‘hitam putih’ di dalam ruang-ruang kudus Menara Gading Universitas. Ia harus diuji di panggung negara.

Pada masa yang lebih baru, Antonio Gramsci dari Italia mencoba menengahi. Gramsci berujar, bahwa seorang cendekiawan bertugas menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif.

Meskipun masih bernada skeptis, Gramsci tetap berharap para cendekiawan dengan segenap disiplin keilmiahan yang membentuknya, mampu membawa pergerakan yang nyata dalam kolektivitas, dan mengusung panji moralitas seberat apapun tekanan kekuasaan saat mereka masuk ke dalam pusarannya. Baca (Sediksi: Mengkritik Akademisi di Panggung Politik Praktis)

Ini proposal jalur tengah yang menjadi solusi bagi Benda maupun Mannheim.

Saya tidak tahu apakah kalangan aktivis di IMM pernah menyitir mereka. Namun masih terasa kurang fair, jika kita menggunjing politik tanpa pernah sama sekali terlibat dalam prosesnya. 

"Hukuman terberat untuk menolak berpolitik adalah diperintah oleh seseorang yang lebih rendah dari diri Anda." - Plato.



Oleh : Agus Maulana
Kader Biasa, Penyuka Kucing dan Senja.
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "IMM, Abdul Musawir, Dan Arak-Arakan Menuju PSI"