Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Rejuvenasi Makna Akademisi Islam Untuk Aksentuasi Peran IMM Sebagai Suluh Bangsa

Akademisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai orang yang berpendidikan tinggi; atau arti yang lain anggota akademi. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merumuskan tujuannya sebagai mengusahakan terbentuknya “akademisi Islam” yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah, bukan hanya dari awang-awang, tetapi berangkat dari perenungan mendalam, pilihan sadar, dan keberpihakan moral.

Kata akademisi dari akademi atau akademik, yang berasal dari bahasa Yunani, academos. Fajar dalam bukunya Mahasiswa dan Budaya Akademik menuliskan academos adalah sebuah taman umum yang berada di sebelah barat laut Kota Athena, Yunani. Taman itu disebut Academos sebagai apresiasi atas peran seorang pahlawan yang gugur di perang legendaris Troya.

Di tempat itulah filosof Socrates berpidato dan membuka arena perdebatan tentang berbagai hal. Selanjutnya, tempat ini juga menjadi tempat Plato melakukan dialog dan mengajarkan pikiran-pikiran filosofisnya kepada orang-orang yang datang. 

Lalu jamaklah, academos diartikan menjadi akademik yang bisa diartikan tempat perguruan, pengikutnya disebut academist. Akademik dapat diartikan sebagai keadaan orang-orang yang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat menguji setiap pikiran dan gagasan secara jujur, terbuka, dan leluasa.

Hal itu tentu sejalan dengan semangat Islam, dalam bahasa Aminah Wadud tawhid paradigm. Pondasi Islam menurut Aminah adalah tauhid yang merupakan merupakan prinsip gerak dari kesinambungan dan keharmonisan kosmos, ia mengintegrasikan antara metafisika dan fisika. Paradigma tauhid ini punya konsekuensi pada tataran teologis dan etis, bahwa setiap manusia apapun bangsanya, warna kulitnya, baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama sebagai khalifatullah fil ‘ardh.

Frasa Islam disematkan pada 'akedemisi' untuk memproteksi penyerampangan makna, atau penempatan makna akademisi secara bebas, atau juga pemaknaan Islam yang dangkal dan tergesa-gesa. Sebagai gerakan Mahasiswa Islam, IMM melandasi segala usaha-usahanya untuk menjunjung tinggi, membumikan, dan mengimpelementasikan Islam dalam setiap aktivitas organisasinya. Sehingga, segala ikhtiarnya didasari oleh dan disadari atas nilai-nilai dan syariat Islam yang murni, atau tawhid paradigm.

Sebagai bekal, kader IMM dalam menghadapi masalah-masalah multidimensi yang melanda bangsa ini, perlu melakukan pendekatan multidisiplin dalam keilmuan, seperti gagasan Amin Abdullah dan Kuntowijoyo. Bahwa ilmu pengetahun, filsafat dapat menjelma menjadi gerakan yang transformatif dan liberatif untuk memecahkan masalah kemanusiaan yang semakin kompleks dalam beberapa dekade terakhir.

Oleh karena itu, secara kelembagaan IMM perlu menjadi akademi, sebuah taman yang menjadi tempat bertumbuhnya pikiran-pikiran kritis, nalar waras, dan mengumandangkan kembali narasi-narasi perlawanan akan ketidakadilan, ketimpangan, dan kemungkaran. Sebab narasi-gagasan adalah motornya peradaban. Seperti ungkap Victor Hugo berikut:

“Anda dapat bertahan menghadapi tentara penjajah. Tetapi, tak akan sanggup melawan rezim gagasan. Kecuali anda punya rezim pikiran yang dibariskan, disebarkan dan dikurikulumkan."

Pernyataan tersebut mengumandangkan satu adagium tentang kekuatan narasi dan gagasan. Perubahan-perubahan besar dalam perjalanan peradaban diawali dari gagasan. Lalu gagasan itu terus direproduksi, disebar hingga membumi, menyadarkan, dan menggerakkan entitas-entitas penting untuk mewujudkan gagasan itu. Organisasi IMM sebagai taman bagi akademisi Islam dalam menghadapi segala bentuk ketimpangan dan kemungkaran, tidak punya pilihan lain selain memberpihaki kebenaran. Sebagaimana yang di oleh Pramoedya Ananta Toer, adil sejak dalam pikiran. Hal ini sesuai dengan etos Islam, sebagaimana termaktub dalam hadits Nabi Muhammad SAW dari Abu Sa'id al-Khudriy, berikut:

"Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Selain aspirasi di depan umum, sudah saatnya menyalakan narasi perlawanan dalam forum-forum diskusi tertutup atau terbatas, seperti di warung-warung kopi, bersama mahasiswa atau di tengah masyarakat marginal, petani, atau nelayan, juga 'ina-ina' penjajan kue. Kader IMM sebagai suluh bangsa menjalankan satu filosofi Jawa, Ing Madya Mangunkarsa, timbul-tenggelam membersamai membangun kesadaran. Bahwa kader IMM saatnya untuk berkiprah, mentasbihkan gagasan-gagasan tentang keadilan, mendampingi dan mengurai problema hidup yang dihadapi masyarakat yang tersisih dari keadilan.

Masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini tak kunjung mereda. Haedar Nashir menilai bahwa semakin sulit memahami sejumlah masalah kebangsaan. Masalah-masalah menurut Haedar Nashir antara lain keterbelahan antara sesama anak bangsa, pro-kontra radikalisme-ekstremisme, penanganan korupsi, praktik demokrasi transaksional, hingga menguatnya oligarki politik dan ekonomi.

Lebih lanjut, ada masalah perkembangan investasi asing seperti pedang bermata dua, utang luar negeri, hadirnya masalah-masalah akibat media sosial, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi. Masalah-masalah krusial bangsa ini, butuh solusi dan kerja bersama untuk memecahkannya. Ada jiwa kenegarawanan yang perlu ditumbuhkan kepada warga bangsa. 

Sebagai bagian dari bangsa, kader IMM perlu menghadirkan gagasan-gagasan yang mencerahkan. Sebab narasi-gagasan adalah motornya peradaban. Seperti ungkap Victor Hugo berikut:

“Anda dapat bertahan menghadapi tentara penjajah. Tetapi, tak akan sanggup melawan rezim gagasan. Kecuali anda punya rezim pikiran yang dibariskan, disebarkan dan dikurikulumkan”.

Pernyataan tersebut mengumandangkan satu adagium tentang kekuatan narasi dan gagasan. Perubahan-perubahan besar dalam perjalanan peradaban diawali dari gagasan. Kemudian gagasan itu terus direproduksi, disebar hingga membumi, menyadarkan, dan menggerakkan entitas-entitas penting untuk mewujudkan gagasan itu. Sebagai bukti, "Indonesia Merdeka" di masa penjajahan adalah satu gagasan, lalu kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Oleh karena itu, secara kelembagaan organisasi IMM perlu menjadi akademi, sebuah taman yang menjadi tempat bertumbuhnya pikiran-pikiran kritis, nalar waras, dan mengumandangkan kembali narasi-narasi perlawanan akan ketidakadilan, ketimpangan, dan kemungkaran. Kader IMM sebagai suluh bangsa menjalankan suatu filosofi Jawa, atau trilogi pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.
 
Kader IMM sebagai suluh adalah menjadi teladan (Uswatun Hasanah), timbul-tenggelam membersamai, memberpihaki, menuntun, hatta menginspirasi, memotivasi, menguatkan simpul-simpul pembangunan kesadaran. Bahwa IMM saatnya berkiprah, mentasbihkan gagasan-gagasan tentang keadilan, berkontribusi memecahkan problema bangsa, mendampingi dan mengurai masalah yang dihadapi masyarakat yang tersisih dari keadilan. Pilihan menjadi suluh bangsa bagi kader IMM adalah dengan mengarus-utamakan gagasan, pemikiran, ide, dan narasi-narasi perlawanan. Lalu bersambut-gayung dengan aksi-aksi nyata, membangun suatu kekuatan dari koalisi kelas menengah dan masyarakat kecil.



Oleh : Haidir Muhari (Ketua Umum DPD IMM Sulawesi Tenggara)
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Rejuvenasi Makna Akademisi Islam Untuk Aksentuasi Peran IMM Sebagai Suluh Bangsa"

4-comments