Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kondisi Kritis Pendidikan Bangsa



2 Mei Hari Pendidikan Nasional

Berbicara persoalan Pendidikan, memang tidak bisa lepas dari peran para pendahulu, pahlawan. Pahlawan Pendidikan yang sering terdengar di telinga adalah Ki Hajar Dewantara. Tokoh yang mendorong semangat dan kesadaran berpendidikan bangsa kala masa penjajahan. 

Konsep yang diterapkan adalah Memberi contoh dari depan, Menciptakan Ide dan Gagasan dari tengah, dan Mendorong dari belakang. Konsep ini diabadikan dengan bahasa jawa yang tentunya sudah tidak lazim lagi di telinga. 

Gagasan Ki Hajar Dewantara sangat konseptual. Konsep yang tidak akan padam tersiram perkembangan zaman. Justru konsep ini akan terus menerangi dan menuntun bangsa kepada kemajuan. 
Konsep ini menggambarkan bahwa pendidikan adalah lampu peradaban. Kemanapun ia beranjak, tidak akan tiba tanpa pendidikan. Demikianlah konsep spektakuler senantiasa digaung-gaungkan.

Namun saat kembali ke dunia nyata, konsep ini semakin lapuk. Seolah tidak diperhatikan lagi. Rumusan ini sudah bukan menjadi pedoman.

Yang pertama, memberi contoh dari depan. Kenyataan hari ini bahwa guru di sekolah tidak menggambarkan pemberi contoh seutuhnya, apatahlagi di lingkup perguruan tinggi. Guru sudah tidak bisa digugu. Hanya segelintir guru yang bisa mencerminkan akademisi yang ideal. Selebihnya justru tergenang dalam kasus-kasus tercelah, pelecehan seksual salah satunya.

Yang kedua, memberi ide dan gagasan. Tenaga pendidik yang memberi ide, justru mencerminkan bahwa ide dan gagasan itu tidak tulus. Tidak mengacu pada gagasan Ki Hajar Dewantara. Ide itu hanya mengarah pada kepentingannya. Ini sudah menjadi rahasia umum, guru beberapa kali memanfaatkan siswanya untuk menyelesaikan penelitian, menulis jurnal, dan pelbagai kepentingan kepenulisan. Ujung-ujungnya yang mendapat gelar dan penghargaan adalah guru, bukan siswa. 

Yang ketiga, mendorong dari belakang. Ini yang banyak kontradiksi. Hari ini guru-guru yang mempunyai power besar dalam lembaga pendidikan, akan mendorong siswa nya untuk menjadi ketua-ketua lembaga tertentu. Ini lelucon. Alurnya sudah kentara. Kebanyakan kasus serupa akan dilakukan untuk memuluskan kepentingan guru. kasarnya, mereka mendorong siswa untuk menjadi ketua lembaga, memberi embel-embel berproses, padahal hanya demi pembentukan basis massa. Pemilihan Rektor ataupun jabatan tertentu. Ya, pada intinya tidak jauh dari kepentingan politik guru.

Tidak banyak yang menyinggung soal ini, karena selalu diberi jawaban konyol, "demikianlah dinamika sekaligus miniatur dalam politik nanda".

Ini baru soal politik, belum separah persoalan keuangan. Namun masih berkesinambungan.

Guru hari ini kerap menggunakan jabatannya untuk menarik setoran dari siswanya. Demikianlah alurnya. Menggunakan basis siswa untuk menduduki sebuah jabatan, lalu menarik setoran dari siswa. 

Pada intinya, konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara, memang telah diterapkan. Sayangnya konsep ini salah jalan. Bukan lagi "Mencerdaskan kehidupan bangsa". Lembaga Pendidikan tidak lain adalah jembatan politik dan ladang komersial. 

Demikianlah hasil diskusi panjang saya dengan seorang pakar pendidikan yang biasa saya sebut Bang Jack. Sehat-sehat untuk Bang Jack. 
Volume 2 segera rilis, stay tuned.


Penulis : Aghil Adrian Aryananda (Sekbid Hikmah PKP Pikom IMM Fisip Periode 2022-2023)
Naufal Afif
Naufal Afif Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Posting Komentar untuk "Kondisi Kritis Pendidikan Bangsa"